Bunga Sakura Berjatuhan

Minggu, 12 Juni 2016

   ”NORMA DAN PRAKTIK BUDAYA DALAM KEHIDUPAN
         SEKSUALITAS DAN KEMAMPUAN REPRODUKSI”.




A.    Pengertian Norma
     Norma berasal dari bahasa latin, yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sini kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk  sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Jadi secara terminology kita dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, Norma menunjuk suatu teknik. Kedua, Makna tersebut lebih bersifat normative. Norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat praktis, norma yang dapat diterapkan pada perbuatan konkret.
Dengan tidak adanya norma, kehidupan manusia akan menjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginann manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Dengan demikian, dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normative tetapi itu tidak menutup kemungkinan pelaksanaannya bersifat praktis. Adapun  Norma dalam kehidupan, yakni :
1.      Norma Agama :
     A.   Berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
     B.  Tercantum dalam kitab suci setiap agama
     C.   Pelanggaran terhadap norma agama merupakan dosa
     D.   Agar setiap orang beriman dan bertakwa   terhadapTuhannya
    E.   Agar tercipta masyarakat yang agamis, tertib, tentram, rukun,    damai dan sejahtera.

2.      Norma Masyarakat/sosial :
    A.  Bersumber dari masyarakat sendiri
    B.  Pelanggaran atas norma sosial berakibat pengucilan dari masyarakat
    C.  Tujuan norma sosial supaya tercipta masyarakat yang saling menghormati dan saling menghargai.

3.      Norma Kesusilaan :
     A.   Berasal dari setiap manusia
     B.   Pelanggaran dari norma ini berakibat penyesalan
     C.   Dalam kehidupan sehari-hari sebaiknya setiap individu   berusaha agar setiap sikap, ucapan dan perilakunya selalu dijiwai oleh nilai-nilai atau norma agama, kesopanan dan hukum.

4.      Norma Hukum :
    A.  Berasal dari Negara
    B. Pelanggran atas norma ini berakibat hukuman   sesuai dengan peraturan
    C.  Pelanggaran norma hukum dalam masyarakat akan memicu berbagai kerusuhan dan perbuatan amoral yang tidak bertanggung jawab.

B.     Pengertian Praktik Budaya
Praktik budaya menurut pengertiannya secara umum adalah norma-norma dalam kebudayaan yang harus dihormati oleh seorang individu maupun berkelompok, dimana salah satu ketika seseorang melanggarnya maka ia akan menerima sanksi baik itu secara halus maupun secara kasar, Contohnya: seperti di kucilkan, bahkan tak di anggap dari kelompok budaya tersebut yang dapat membuat orang tersebut di keluarkan dari budaya tersebut dan di keluarkan dari komunitas budaya itu.
Dimana sebagian dari orang sekelompok masyarakat banyak melangar dari norma aturan dalam kehidupan, antara lain pergaulan bebas, praktik budaya yang kurang bermutu dimana sebagian orang banyak yang melakukan penyimpangan seperti saling menyukai sesama jenis dalam norma-norma kehidupannya yang dalam kenyataan dan kaidahnya melanggar norma dan hukum agama.

C.    Norma dan Praktik Budaya dalam Kehidupan Seksualitas dan Kemampuan Reproduksi.

v    Seksualitas adalah ekspresi fisiologis dan psikologis dari perilaku seksual. Seksualitas berkaitan dengan variable biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual dari kehidupan yang mempengaruhi kepribadian dan hubungan interpersonal. Hal ini termasuk persepsi diri, harga diri, sejarah pribadi, kepribadian, konsep cinta, keintiman dan citra tubuh.

v    Reproduksi adalah suatu proses biologis untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau keturunan dari organisme yang menghasilkannya (orang tua / induk). Dalam biologi reproduksi mengacu pada fungsi dimana makhluk hidup menghasilkan keturunan untuk melanjutkan jenis mereka.


Norma-norma dan praktik budaya dalam kehidupan seksualitas dimana seseorang mengalami gangguan dan keterkaitan terhadap suatu kelainan akibat trauma, sehingga banyaknya jumlah seseorang meningkatkan kehidupan seksual yang kurang di hormati di kalangan masyarakat,baik itu melalui pergaulan bebas di kalangan remaja, homoseksualitas, dan bahkan kelainan- kelainan seksualitas lainnya yang banyak di langgar oleh sebagian orang.
Secara norma dan praktik kebudayaannya homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis atau seksual dalam perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas yang mengacu pada pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis secara eksklusif orang dari jenis kelamin yang sama, diaman homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu.

D.    Norma dan Praktik Budaya dalam Kemampuan Reproduksi, meliputi:

1.      Revolusi seks: Seks bebas tidak untuk menghasilkan keturunan. Jika seks tidak untuk menghasilkan keturunan, maka keturunan tidak harus didapat dari hubungan seksual. Pemikiran ini mempertajam pemahaman manusia tentang makna prokreasi dan seksualitas.
2.      Gerakan feminisime dan hak gay: jika lelaki dan perempuan tidak saling melengkapi dan berpengaruh secara generatif, maka bayi tidak harus hadir melalui persatuan ovum dan sperma. Maka monogami yang dianggap sebagai tempat ideal terjadinya prokreasi tidak akan terlalu dipandang dalam norma budaya kita. Untuk itu, kloning akan menjadi pilihan terakhir: orang tua tunggal. Pemikiran ini mempertajam pemahaman tentang kesetaraan gender.
3.      Melalui kloning dihasilkan anak yang diinginkan. Ini menguji pemahaman umum bahwa anak yang dilahirkan adalah anak yang diinginkan. Pemikiran semacam ini digunakan untuk menentang aborsi dan kontrasepsi.



E.   Etimologi Dalam Kehidupan Seksualitas Yang Menyangkut Norma dan     Praktik Budaya yang Menyimpang.

       Kata homoseksual adalah hasil penggabungan bahasa Yunani dan Latin dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, ‘sama’ (tidak terkait dengan kata Latin homo, ‘manusia’, seperti dalam Homo sapiens), sehingga dapat juga berarti tindakan seksual dan kasih sayang antara individu berjenis kelamin sama, termasuk lesbianisme. Dimana hubungan gay umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat digunakan secara luas untuk merujuk kepala semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian, hanya merujuk pada homoseksual seseorang.
    Banyak panduaan penulisan moder di Amerika Serikat menyarankan untuk tidak menggunakan kata homoseksual sebagian kata benda, tapi menggunakan kata pria gay atau lesbian. Demikian pula, beberapa norma dalam kehidupan seseorang maupun individu direkomendasikan untuk sepenuhnya menghindari penggunaan kata homoseksual karena memiliki sejarah yang buruk dan karena kata tersebut hanya merujuk [pada perilaku seksual seseorang (berlawanan dengan perasaan romantis) dan dengan demikian memiliki konotasi negatif.



F.  Sejarah Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas yang Menyangkut Norma dan Praktik Budaya yang Menyimpang.

      Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun 1869 dalam sebuah pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria Kertbeny yang diterbitkan secara anonim, berisi perdebatan melawan hukum anti-sodomi Prusia.  Pada tahun 1879, Gustav Jager menggunakan istilah Kertbeny dalam bukunya, Discovery of The Soul (1880).  Pada tahun 1886, Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya Psychopathia Sexualis. Buku Krafft-Ebing begitu populer di kalangan baik orang awam dan kedokteran hingga istilah "heteroseksual" dan "homoseksual" menjadi istilah yang paling luas diterima untuk orientasi seksual.
    Dengan demikian, penggunaan istilah tersebut berakar dari tradisi taksonomi kepribaadian abad ke-19 yang lebih luas. Istilah homososial sekarang digunakan untuk menggambarkan konteks sesama jenis yang tidak secara khusus bersifat seksual. Ada juga kata yang mengacu kepada cinta sesama jenis, homofilia.



G. Penggunaan Sinonim kata Homoseksual dalam Kehidupan Seksualitas yang Menyangkut Norma dan Praktik Budaya yang Menyimpang.

     Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki atau LSL (digunakan di kalangan medis ketika secara khusus membahas aktivitas seksual), homoerotis (mengacu pada karya seni), heterofleksibel (mengacu pada orang yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual, tetapi terkadang terlibat dalam kegiatan seksual sesama jenis), dan metroseksual (merujuk pada pria non-gay dengan selera stereotipe gay seperti makanan, mode, dan desain). Dimulai pada 1990-an, beberapa kata telah direklamasi sebagai kata-kata positif untuk pria gay dan lesbian, seperti dalam penggunaan studi queer, teori queer, dan bahkan program televisi populer Amerika Queer Eye for the Straight Guy. Kata homo muncul dalam banyak bahasa lainnya tanpa konotasi penghinaan seperti dalam bahasa Inggris. Namun, seperti penghinaan etnis dan penghinaan rasial, penyalah gunaan istilah-istilah ini masih bisa sangat ofensif, kisaran penggunaan yang dapat diterima tergantung pada konteks dan pembicara. Sebaliknya, gay, kata awalnya dipegang oleh pria homoseksual dan wanita sebagai istilah positif afirmatif  (seperti dalam pembebasan gay dan hak-hak gay), telah meluas dalam penggunaan peyoratif di kalangan muda.



H.    Orientasi Seksual, Identitas, Perilaku dalam Norma dan dalam Ruang Lingkup Kehidupan Bersosial Budaya.

     American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan National Association of Social Workers menyatakan orientasi seksual "bukan hanya karakteristik pribadi yang didefinisikan secara tersendiri. Malahan, orientasi seksual seseorang ditentukan dengan siapa orang tersebut menemukan hubungan yang memuaskan".
Orientasi seksual umumnya dibahas sebagai karakteristik individu, seperti jenis kelamin biologis, identitas gender, atau usia. Perspektif ini tidak lengkap karena orientasi seksual selalu didefinisikan dalam istilah relasional yang harus melibatkan hubungan dengan orang lain. Tindakan seksual dan atraksi romantis dikategorikan sebagai homoseksual atau heteroseksual sesuai dengan jenis kelamin biologis individu yang terlibat di dalamnya dimana kebanyakan orang dalam ruang lingkup masyarakat umum kebanyakan kurang dapat menerima keadaan tersebut di sekitaran mereka, dimana sesama gender yang sama bersifat relatif satu sama lain.

     Memang individu-individu mengungkapkan heteroseksualitas, homoseksualitas, atau biseksualitas dengan tindakan atau keinginan mereka terhadap orang lain. Hal ini mencakup tindakan-tindakan sederhana seperti berpegangan tangan atau berciuman. Jadi, orientasi seksual secara integral terkait dengan hubungan personal seorang individu yang dibentuk dengan individu lain untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, ikatan, dan keintiman tanpa memikirkan social budaya dan norma – norma hukum di lingkungan mereka.

    Selain perilaku seksual, ikatan ini mencakup kasih sayang fisik non-seksual antara pasangan, tujuan dan nilai-nilai bersama, sikap saling mendukung, dan komitmen berkelanjutan antara sesama genders walaupun melangar kaidah dan norma-norma secara agama.





I.  Perkembangan identitas seksual Di Ruang Lingkup Budaya Masyarakat "proses coming-out”.

     Dimana banyak orang yang merasakan ketertarikan kepada anggota jenis kelamin sama memiliki fase "coming out" dalam kehidupan mereka. Umumnya, coming out digambarkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase "mengenali diri", dimana muncul kesadaran seseorang untuk terbuka dengan suatu hubungan bahkan mulai mencoba keluar melalui norma hukum suatu kebudayaan dengan menggambil suatu rasiko tanpa disadari ketika di mana sebagian orang mencoba hubungan sesama jenis. Fase ini sering digambarkan sebagai coming out yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan keputusan untuk terbuka kepada orang lain, misalnya keluarga, teman, atau kolega. Tahap ketiga mencakup hidup secara terbuka sebagai orang LGBT yang pada umumnya identitas hubungan yang mereka jalani tidak dapat di terima oleh masyarakat sekitar, norma yang berlaku bahkan budaya maupun agama yang mereka anut.
   Di Amerika Serikat keadaan seperti ini sering di temui dengan identitas sesual "come out" di mana, seorang remaja usia sekolah menengah atas atau kuliah ketika orientasi mereka tidak diterima di masyarakat. Terkadang keluarga mereka sendiri bahkan tidak diberitahu.



J.  Konstruksi sosial dan Norma Etika Homoseksual

     Orientasi homoseksual bersifat kompleks dan multi-dimensi, beberapa akademisi dan peneliti, terutama dalam studi Queer, berpendapat bahwa homoseksual adalah konstruksi sejarah dan sosial. Pada tahun 1976 sejarawan Michel Foucault berpendapat bahwa homoseksualitas sebagai identitas yang tidak ada pada abad ke-18. Orang-orang pada masa itu berbicara tentang "sodomi" yang mengacu kepada tindakan seksualdalam ruang lingkup merampas hak bela diri seseorang dan moral etika, sehingga sodomi saat itu merupakan kejahatan yang sering diabaikan oleh beberapa orang yang berprilaku menyimpang, sehingga mereka terkadang dijatuhi hukuman berat, karena di anggap orang yang melanggar hukum itu merupakan orang yang berperilaku menyimpang yang kurang memahami etika, dan peraturan – peraturan terhadap norma – norma kemanusian dan kurang dapat menghargai struktur ikatan budaya social yang ada di suatu daerah atau negara tertentu.








K.    Pengendalian terhadap Ruang Lingkup Seksual yang mencangkup Norma – Norma dan Prakik Sosial Budaya.

1.      Membuat norma – norma baru dalam luang kehidupan
            Dimana dibuatnya norma – norma atau peraturan bagi setiap kelompok masyarakat atau individu agar tidak adanya melakukan kejahatan seksual seperti halnya kekerasan dan juga sodomi hingga menyebabkan penyimpanagan sesual sesama jenis semangkin meningkat dari tahun ke tahun.

2.      Memperketat aturan Norma Budaya
            Dimana suau budaya memulai menjelaskan mengenai penyimpangan-penyimpangan dan hal apa saja yang akan terjadi apabila dilakukannya penyimpangan, dan menjelaskan juga mengenai apa yang dilarang oleh Budaya setempat maupun Agama yang diyakini sehingga menyadarkan sebagian orang agar menghindari penyimpangan tersebut.

3.      Rehabilitasi bagi para homoseksual
            Dimana peran masyarakat, keluarga, orang terdekat juga seperti sahabat maupun teman memberikan support mendalam kepada pelaku homoseksual agar pelaku menyadari kesalaan yang telah di lakukannya sedikit demi sedikit dan mencoba membantu menyadarkan agar belajar untuk kembali menjadi manusia yang normal tanpa melakukan adanya penyimpangan sosial lagi dalam hubungan yang tidak semestinya, yang melanggar norma hukum dan melanggar dari social budaya yang telah tertanam kuat di lingkungan atau Negara itu sendiri.



CONTOH:
1.          Ketidak mampuan KUHP lebih disebabkan pengaruh nilai dan sisitem sosial patriarki. Terlebih lagi jika hendak digunakan untuk mengatasi gejala kejahatan dengan modus  baru seperti memaksakan kehamilan untuk kemudian  anak yang terlahir dijual, pemaksaan pelacuran, pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar.

2.          Budaya dalam kehidupan seksualitas .  Biseksualitas dapat diartikan seseorang yang menyukai laki-laki maupun perempuan . Seks bebas Merupakan perilaku yang tidak terpuji, tidak sesuai dengan penerapan akhlak budi pekerti, jadi kita sebagai tenaga kesehatan harus memberikan pendekatan terhadap tokoh utama di desa  tersebut dan memberikan penyuluhan atau konseling terhadap para remaja atau keluarga, agar slalu menjaga anak-anak nya yang sudah menginjak remaja atau yang sudah menginjak dewasa, kita memberikan penyuluhan ini sampai masyarakat  yang ada di desa tersebut sampai mengerti, karena dalam  satu desa pasti akan berbeda pendapat,  pemikiran, budaya dan beragam lainnya. Jika mereka tidak mencegah secara dini akan berpengaruh pada anak-anak nya dan masalah pendidikan dimasa depan bagi dirinya.


  Dan disini homoseksualitas rasa ketertarikan atau rasa suka antar individu yang berjenis kelamin sama.
  Homoseksualitas dibedakan menjadi :
·         Lesbianisme Bila seorang perempuan menyukai sesama jenisnya atau perempuan.
·         Homoseksualitas Bila seorang laki-laki menyukai sesama jenisnya atau laki-laki.







PENUTUP

A.    Kesimpulan
         Homoseksualitas bukanlah penyakit kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis negatif. Namun merupakan suatu Prasangka terhadap kaum biseksual dan homoseksual yang menyebabkan efek semacam itu. Meskipun begitu banyak sekte-sekte agama dan organisasi "mantan-gay dan lesbi" serta beberapa asosiasi psikologi memandang bahwa kegiatan homoseksual adalah dosa atau kelainan. Namun bertentangan dengan pemahaman umum secara ilmiah homoseksual adalah berbagai sekte dan organisasi homoseksual adalah sesuatu yang menggambarkan bahwa homoseksualitas yang merupakan "pilihan" dari suatu kaum baik itu perorangan maupun kelompok yang bersifat melanggar norma dan kultur adat mengenai hubungan mendasar yang bersifat normal antara wanita dan pria.
         Dengan demikian disimpulkan bahwa seorang homoseksual berpemikiran modern dan individualisme manusia, dimana mereka masing- masing individu berusaha membentuk diri masing-masing “not only as self-made man but also manmade selves”. Manusia tidak lagi berpikir bahwa ia semata-mata ditentukan oleh tradisi dan nenek moyangnya.


B. Saran
     Meningkatkan komunikasi yang lancar dengan sebutan sharing dapat membantu sebagian orang homoseksual yang menyimpang untuk dapat menumbuhkan dan menunjukkan hasrat manusia untuk mengontrol masa depannya dengan sebaik – baiknya dari kontrol pribadi, sehingga manusia atau makhluk social tersebut tidak mudah untuk kehilangan keterpesonaannya atas misteri alam dan kehidupan yang dijalaninya.



      Daftar pustaka

 Putriiandinynii.blogspot.co.id/2014/01/makalah-isbd-norma-dan-praktik-budaya-.html
 http://jayaspeed.blogspot.com/2010/03/pengertian-seksualitas.html
 http://mcrpkbi.wordpress.com/2010/08/29/hak-hak-seksual-dan-reproduksi/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar